Adakah pajak dalam Islam? Apa saja sumber pendapatan negara menurut Islam? Bagaimana jika zakat jadi pengurang pajak? Bagaimana PPh, PPN dan PBB menurut Islam?
Empat pertanyaan tersebut menjadi pokok bahasan buku karya Gusfami ini. Menarik sekali bahwa, melalui studi literatur selama lima tahun, penulisnya cukup berhasil menjawab keempat pertanyaan tersebut dengan lincah dan cukup sistematis.
Beberapa fakta menarik tentang pajak ditampilkan penulis sejak bab pertama. Contohnya, 78% pendapatan negara kita bersumber dari pajak, terutama dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) --ketiganya merupakan sumber pendapatan pajak terbesar. Angka 78% persen dipandang belum optimal oleh pemerintah karena nilainya baru 13,6% dari produk domestik bruto (PDB). Oleh karena itu pemerintah merencanakan terus menaikkan target penerimaan pajak hingga mencapai tax ratio 17-20%.
Di bagian lain penulis juga menyampaikan sebuah fakta lain mengenai minimnya alokasi pajak untuk fakir miskin. Terbukti peningkatan penerimaan pajak dari tahun ke tahun tidak diikuti oleh penurunan angka kemiskinan. Alokasi pajak untuk mengatasi kemiskinan melalui departemen sosial hanya Rp16,2 triliun atau 4,1% dari APBN tahun 2005.
Lalu kemana alokasi terbesar uang pajak itu digelontorkan? Ternyata, 51% penerimaan pajak dialokasikan untuk membayar utang negara. Pada 2004 besarnya cicilan utang pemerintah adalah Rp137,9 triliun dari total utang keseluruhan pemerintah sebesar Rp1.160,83 triliun. Pembayaran cicilan utang sebesar Rp137,9 triliun tadi setara dengan 51% penerimaan pajak 2004!
Hal tersebut dinilai penulis sebagai sebuah kekeliruan besar dalam penggunaan pajak. Alhasil, pajak belum menjadi solusi mengatasi kemiskinan, pajak hanya mampu menjadi sumber pendapatan negara (budgeter) semata untuk mendanai berbagai kebutuhan pemerintah dalam penyelenggaraan negara.
Dalam buku ini penulis juga mengungkap kelemahan mendasar dalam hal perpajakan di Indonesia, yakni tidak adanya definisi tentang pajak dalam undang-undang perpajakan. Mengenai hal ini penulis memiliki jawabannya sendiri, "Sebab, jika didefinisikan akan terlihat bahwa pajak itu sebenarnya hanya alat kepentingan penguasa."
Tidak didefinisikannya pajak berakibat pajak didefinisikan oleh semua orang. Jika pajak didefinisikan oleh pemungut pajak, cenderung akan dibuatnya agar menguntungkan pemungutnya. Ini bisa berbuah kezaliman. Bila pajak didefinisikan oleh pembayarnya, cenderung akan dibuat untuk kepentingan pembayarnya. Jika hal ini terjadi, akan tercipta hukum rimba. Wajib pajak kuat, kaya, berpengaruh akan berusaha menyembunyikan kekayaannya sementara yang lemah tidak mampu menghindar karena kelemahannya itu.
Kembali ke pertanyaan, adakah pajak dalam Islam? Menurut kajian penulis, ulama dan ekonom Islam memiliki pendapat beragam tentang pajak. Namun intinya, pajak dibolehkan dalam Islam.
Melalui buku ini Gusfahmi, menggarisbawahi bahwa pengertian pajak (dharibah) dalam Islam berbeda dengan pajak atau tax dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Pajak dibolehkan dalam Islam karena adanya kondisi tertentu dan juga syarat tertentu, seperti harus adil, merata dan tidak membebani rakyat. Jika melanggar ketiganya maka pajak seharusnya dihapus dan pemerintah mencukupkan diri dari sumber-sumber pendapatan yang jelas ada nashnya dan kembali kepada sistem anggaran berimbang (balance budget).
Selain itu, pajak dibolehkan setelah zakat ditunaikan. Atau dengan kata lain, bayar zakat dulu baru kemudian pajak dipungut. Kewajiban pajak bukan karena adanya harta melainkan karena adanya kebutuhan mendesak, sedangkan baitul mal kosong atau tidak mencukupi. Pemberlakuan pajak adalah situasional, tidak harus terus menerus. Ia bisa saja dihapuskan bila baitul maal sudah terisi kembali. Pajak diwajibkan hanya kepada kaum muslimin yang kaya.
Secara khusus penulis memperbandingkan bagaimana sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi non Islam bekerja. Kedua sistem ini ternyata memiliki cara pandang berbeda dalam melihat ketersediaan sumberdaya (resources). Sistem ekonomi konvesional melihat persoalan pokok ekonomi adalah sumberdaya tidak cukup sehingga harus diatasi dengan cara memaksimalkan produksi. Sementara itu, menurut sistem ekonomi Islam persoalan pokok justru terletak pada distribusi, bagaimana menyalurkan dari yang berkelebihan ke yang berkekurangan, karena sumberdaya telah cukup disediakan oleh Allah swt. Dalam konteks inilah pajak dan zakat bisa menjadi solusi ampuh buat mengatasi kesenjangan dan menciptakan pemerataan.
Melalui kajiannya, penulis tiba pada kesimpulan bahwa sistem ekonomi konvesional (kapitalis) telah gagal menciptakan pemerataan dan kesejahteraan. Buktinya, kekayaan tiga orang terkaya dunia sama dengan GDP 48 negara termiskin didunia. Padahal di zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz, ketika sistem ekonomi Islam diterapkan, sulit menemukan fakir miskin untuk diberi zakat. Guna menggali lebih dalam bagaimana sistem ekonomi Islam diaplikasikan dalam buku ini terdapat bab khusus mengenai sejarah pendapatan dan pengeluaran negara di masa pemerintahan Rasulullah saw hingga pasca khulafaurrasyidin.
Sumber:Judul Buku: Pajak Menurut Syariah
Pengarang: Gusfahmi, S.E., M.A.
Penerbit: Rajawali Pers