MAULANA JALALUDIN RUMI
Maulana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
Dikutip dari Buku Mercy Oceans
Mari Kemari, Datang..Datanglah
Mari kemari datanglah siapapun dirimu.
Pengelana, Peragu, dan Pecinta mari..
kemari datanglah
Tak penting kau percaya atau tidak..
Mari, kemari datanglah
Kami bukanlah caravan yang patah hati ...
atau pintu-pintu dari keputus asa-an,
Mari kemari datanglah...
Meski kau telah jatuh ribuan kali,
Meski kau telah patahkan ribuan janji,
Mari kemari datang... datanglah sekali lagi
( Maulana Jalaludin Rumi )
Tentang Maulana Jalaludin Rumi
Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan,
Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih
jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap
orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih
yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia
begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna.
Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang
tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan
mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika
kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.
Maulana memahaminya, bagi yang lain ini adalah suatu
hal yang terlarang.
( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil
al-Haqqani - Cucu dari Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus
Turki, September 1998)
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang
tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah
guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat
yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah
sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh
besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan
kalangan seniman sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan
akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di
zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit
itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila
mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu
yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan
cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah
yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib.
Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula,
kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat
mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam
agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, "Orientasi kepada indera dalam
menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan
yang dipelopori kelompok Mu'tazilah. Mereka merupakan
para budak yang tunduk patuh kepada panca indera.
Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah.
Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak
terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula
memanjakannya."
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena
tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum
pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan
selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah
penyembuhan yang terkandung dalam obat. "Padahal, yang
lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang
tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah
Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah
kegunaannya tersembunyi di dalamnya?" tegas Rumi.
Dari: Beberapa sumber